Sunday, July 3, 2011

Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang

salah satu doktrin ajaran tasawuf yang menyimpang adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkat dimana jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam.

Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tasawuf, kerana asal mula ajaran tasawuf sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang buruk dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.


Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: Inilah asal mula ajaran tasawuf yang diajarkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai jenis syubhat dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berjaya dengan baik menguasai generasi tasawuf akhir2 ini .


Pada mulanya, penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan menekankan kepada mereka bahawa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu), dan ketika Iblis telah berjaya memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang ditekankan padanya bahawa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sehingga mereka meninggalkan apa-apa yang diperlukan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri mereka, sehingga ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali).

walaupun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disedarinya kerana ceteknya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mula membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi.


Lalu datang generasi selanjutnya yang mula merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Marifah (mengenal Allah dengan sebenarnya, Sama (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (pengikut2 dan ahli tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu tasawuf), sehigga mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syariat sebagai ilmu zahir!

Dan di antara mereka kerana rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rosak dan mengaku jatuh cinta dan asmara kepada Al Haq (Allah Azza wa Jalla ), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan dan kemudian membuat mereka jatuh cinta (lalu mereka mengaku bahawa yang mereka cintai itu adalah Allah Azza wa Jalla ).


Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid'ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rosaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, ada juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-meneruslah Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid'ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri mereka sendiri atur cara beribadah yang khusus (yang berbeza dengan tata cara beribadah yang Allah Azza wa Jalla syariatkan dalam agama islam). (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahawa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab:"Tidak diragukan lagi menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman bahawa ucapan itu adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, kerana orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebahagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya,

dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya

Kesimpulannya: Bahawa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekaan, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahawa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan, kerana dengan keyakinan tersebut bererti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebahagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebahagian dari ajaran agama nabi Ibrahim alaihi salam Dan di antara mereka ada yang berdalil (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah Azza wa Jalla :


Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian) (QS. Al Hijr: 99)

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, "Sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma'rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu

(pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat di atas. Dan makna "Al Yaqin" dalam ayat tersebut adalah "Al Maut" (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang" juga Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam Firman-Nya:


Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan solat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian). (QS. Al Muddatstsir: 42-47)

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahawa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan solat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, datang pada mereka Al Yaqin (kematian)yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, iaitu Al Yaqin (kematian). (Majmu Al Fatawa 401-402 dan 417-418).


Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkat/keadaan di mana jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.



Artikel berkaitan:

1 comments:

Post a Comment